Definisi Tauhid
Makna dasar tauhid adalah pengetahuan bahwa sesuatu itu satu. Adapun dalam kaca pandang agama, tauhid ialah ilmu yang mengaji tentang penetapan aqidah keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan. Syekh Ibrahim ibn Muhammad al-Baijuri dalam Tuhfatul Murid ‘ala Jawharatit Tauhid mendefinisikannya sebagai:
هُوَ عِلْمٌ يقتدر بهِ عَنْ إِثْبَابِ الْعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ مُكْتَسَب مِنْ أَدِلَّتِهَا الْيَقِيْنِيَّةِ
Artinya: “Ilmu Tauhid adalah ilmu yang dengannya mampu menetapkan aqidah-aqidah keagamaan yang diperoleh dari dalil-dalil meyakinkan.”
Dinamakan ilmu tauhid karena bagian utama ilmu ini adalah mengenai keesaan Allah yang menjadi dasar ajaran Islam. Ilmu ini disebut juga sebagai ilmu ushul (fundamen agama) atau ilmu aqidah. Terkait penggunaan dalil aqliyah (akal) dan dalil naqliyah (Al-Quran dan Hadits), ilmu ini juga disebut dengan ilmu kalam.
Kewajiban Mempelajarinya
Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti, dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah—sifat-sifat yang sempurna; dan menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan yang dimiliki makhluk, serta dan membenarkan risalah seluruh rasul-rasul-Nya.
Dengan ilmu Tauhid kita terhindar dari pengaruh aqidah-aqidah yang menyeleweng dari kebenaran. Dan dengan demikian semakin mengukuhkan paham aqidah mayoritas umat Islam di dunia, yakni Ahlussunnah wal Jamaah, dengan dua imamnya yang utama, Imam Abul Hasan Al-Asyari (w. 324 H), dan Imam Abu Manshur Al-Maturidy (w. 333 H).
Adapun hal yang dibicarakan atau objek pembahasan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul-Nya, dilihat dari segi apa yang wajib (harus) untuk Allah dan Rasul-Nya, apa yang mungkin, dan apa yang jaiz (bisa atau tidak bisa). Kemuliaan ilmu dinilai dari materi yang dibahas. Ilmu tauhid memiliki kedudukan istimewa daripada ilmu lainnya karena pembahasan ilmu ini berkaitan dengan dzat Allah dan Rasul-Nya. Hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukallaf, meskipun hanya mengetahuinya dengan dalil-dalilnya yang global. Adapun mempelajari ilmu tauhid dengan dalil yang terperinci hukumnya adalah fardhu kifayah.
Apabila ilmu tauhid sudah meresap ke dalam jiwa, maka akan tumbuh perasaan puas, rela, dan bahagia atas pemberian dan ketentuan Allah, sehingga jiwa menjadi tenang dan tenteram. Jiwa juga memiliki harga diri dan menghargai orang lain, dan memiliki rasa kasih sayang kepada sesama manusia.
Aqidah Warisan Rasulullah
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّي عِنْدَ النَّبِيِّ إِذْ جَاءَهُ قَوْمٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ اقْبَلُوا الْبُشْرَى يَا بَنِي تَمِيمٍ قَالُوا بَشَّرْتَنَا فَأَعْطِنَا فَدَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ اقْبَلُوا الْبُشْرَى يَا أَهْلَ الْيَمَنِ إِذْ لَمْ يَقْبَلْهَا بَنُو تَمِيمٍ قَالُوا قَبِلْنَا جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّينِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ قَالَ كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَيْءٍ
Dari Imran bin Hushain, berkata: “Aku bersama Nabi, tiba-tiba datanglah kaum dari golongan Bani Tamim (penduduk Najd). Nabi berkata kepada mereka: “Terimalah kabar gembira wahai Bani Tamim!” Mereka menjawab: “Engkau telah memberi kami kabar gembira kepada kami, oleh karena itu berilah kami [harta benda]!” Lalu datanglah orang-orang dari penduduk Yaman. Nabi berkata kepada mereka: “Terimalah kabar gembira wahai penduduk Yaman, karena Bani Tamim tidak mau menerimanya!” Penduduk Yaman menjawab: “Kami menerima kabar gembira itu wahai Rasulullah dengan senang hati. Kami datang kemari untuk mempelajari ilmu agama dan untuk menanyakan perihal permulaan apa yang ada di dunia ini!” Nabi menjawab: “Allah itu ada, pada saat sesuatu apa pun belum ada. Arasynya Allah itu ada di atas air. Kemudian Allah menciptakan langit dan bumi dan mencatat segala sesuatu dalam lauh mahfuzh.” (HR. al-Bukhari [6868]).
Teks hadits di atas memberikan gambaran yang sangat jelas kepada kita, bahwa para sahabat nabi (dalam hadits itu direpresentasi oleh Penduduk Yaman) memiliki kemauan yang keras untuk mengetahui dan menanyakan persoalan penting dalam pandangan agama, yaitu seputar keesaan Allah yang bersifat qadim (tidak ada permulaannya) dan eksistensi alam yang bersifat baru (huduts) yang merupakan materi penting dalam pembahasan ilmu tauhid. Berdasarkan hadits tersebut, para ulama ahli hadits seperti al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi dan lain-lain berpandangan, bahwa karakter al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang gemar mendalami ilmu tauhid atau aqidah dan mengantarnya menjadi pemimpin Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah, merupakan karakter bawaan dari leluhurnya yang memiliki cita-cita yang luhur untuk menguasai ilmu pengetahuan dan mendalami persoalan aqidah yang sangat penting dengan bertanya secara langsung kepada Nabi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Baihaqi berkata:
قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ: وَفِيْ سُؤَالِهِمْ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الْكَلاَمَ فِيْ عِلْمِ اْلأُصُوْلِ وَحَدَثِ الْعَالَمِ مِيْرَاثٌ ِلأَوْلاَدِهِمْ عَنْ أَجْدَادِهِمْ
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata: “Pertanyaan penduduk Yaman kepada Nabi tersebut, menjadi bukti bahwa kajian tentang ilmu aqidah dan barunya alam telah menjadi warisan keluarga al-Asy’ari dari leluhur mereka secara turun temurun.” (Al-Hafizh Ibn Asakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, [Damaskus: Percetakan al-Taufiq, 1347 H], halaman 66).
Berdasarkan keterangan di atas, tidak aneh apabila di kemudian hari, dari kalangan suku al-Asy’ari lahir seorang ulama yang menjadi pemimpin Ahlussunnah wal Jama’ah dalam memahami dan mempertahankan aqidah yang diajarkan oleh Nabi dan sahabatnya, yaitu al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Tauhid atau aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah tiada lain adalah aqidah Islam itu sendiri, yaitu aqidah yang diyakini oleh Rasulullah, para sahabat, ulama penerusnya hingga sekarang, yang terhindar dari berbagai macam bid’ah aqidah yang menyimpang darinya. Meskipun dalam lingkungan Ahlussunnah wal Jama’ah terkenal dua ulama yang dijadikan panutan dalam aqidah, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/874-936 M) dan Abu Manshur al-Maturidi (238-333 H/852-944 M), bukan berarti keduanya merupakan penggagas aqidah baru dalam Islam, tetapi merupakan ulama yang telah berjasa besar menjaga aqidah sesuai tantangan zamannya, sebagaimana penjelasan Tajuddin bin Ali as-Subki (727-771 H/1327-1370 M) dan Muhammad Zahid al-Kautsari (1296-1371 H/1879-1952 M) secara berurutan berikut ini:
اِعْلَمْ أَنَّ أَبَا الْحَسَنِ لَمْ يُبْدِعْ رَأْيًا وَلَمْ يُنْشِ مَذْهَبًا. وَإِنَّمَا هُوَ مُقَرِّرٌ لِمَذَاهِبِ السَّلَفِ مُنَاضِلٌ عَمَّا كَانَتْ عَلَيْهِ صَحَابَةُ رَسُولِ اللهِ. فَالْاِنْتِسَابُ إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُ عَقَدَ عَلَى طَرِيقِ السَّلَفِ نِطَاقًا وَتَمَسَّكَ بِهِ وَأَقَامَ الْحُجَّجَ وَالْبَرَاهِينِ عَلَيْهِ، فَصَارَ الْمُقْتَدِى بِهِ فِي ذَلِكَ السَّالِكُ سَبِيلَهُ فِي الدَّلَائِلِ يُسَمَّى أَشْعَرِيًّا
“Ketahuilah, sungguh Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak menyampaikan pendapat baru dan membuat mazhab. Beliau hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf dan membela aqidah yang dipedomani para sahabat Rasulullah, maka penisbatan kepadanya hanyalah karena mempertimbangkan beliau berperan mengokohkan kajiannya, memedomaninya, dan menetapkan hujjah dan argumentasinya, sehingga orang yang mengikutinya dan menempuh metodenya dalam dalil-dalil aqidah disebut orang yang bermazhab Asy’ari.”
وَإِمَامُ الْهُدَى أَبُو مَنْصُورِ الْمَاتُرِيدِيُّ وَعَنْ سَائِرِ الْأَئِمَّةِ بَنَى تَوْضِيحَ الدَّلَائِلِ عَلَى تِلْكَ الرَّسَائِلِ كَمَا جَرَى عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ الْمُجْتَهِدِ أَبُو جَعْفَرِ الطَّحَاوِيُّ فِي كِتَابِ بَيَانِ الْاِعْتِقَادِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ عَلَى مَذْهَبِ فُقَهَاءِ الْمِلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ وَ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الْمَعْرُوفُ بِعَقِيدَةِ الطَّحَاوِيَّةِ
“Imam al-Huda Abu Manshur al-Maturidi radhiyallahu ‘anhu wa ‘an sairil aimmah membangun penjelasan dalil-dalil aqidah berdasarkan risalah-risalah karya Abu Hanifah tersebut, seperti halnya yang dilakukan Imam Abu Ja’far at-Thahawi dalam kitabnya Bayan al-I’tiqad Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Mazhab Fuqaha al-Millah, Abi Hanifah wa Abi Yusuf wa Muhammad bin al-Hasan yang terkenal dengan judul ‘aqidah at-thahawiyyah.”
Dari keterangan ini menjadi jelas, aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan aqidah Islam yang diwarisi dari Rasulullah, para sahabat, dan ulama penerusnya.
Dalam ranah keimanan kepada Allah secara umum setiap mukallaf wajib meyakini sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya. Para ulama dalam kitab-kitabnya secara global menyebutkan beberapa kewajiban keimanan seorang muslim sebagai berikut:
Tinggalkan Komentar